Masa Depan Perairan Wawonii: Bagaimana Dukungan Pemerintah?

127
Masa Depan Perairan Wawonii: Bagaimana Dukungan Pemerintah?
Ilustrasi Pengelolaan Akses Area Perikanan dan Kawasan Larang Ambil. (Sumber gambar: Rare Indonesia).

ZONASULTRA.ID, WAWONII – Muhamad Rijal masih mengingat dengan persis bagaimana melimpahnya ikan di pesisir Pulau Wawonii pada tahun 1977. Ketika itu, ia merupakan siswa SMP yang senang datang  di pelabuhan Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep).

“Itu ikan yang namanya Loli (sebutan masyarakat lokal) yang agak panjang dan kecil, itu menghitam di bawah pelabuhan. Kita memancing bukan pakai umpan karena agak kecil ikannya, tapi kita pakai kail empat mata atau tiga mata, selalu kita dapat. Kita pulang itu biasa loyang kami selalu penuh,” ujar Rijal ketika berbincang di ruang kerjanya, 31 Agustus 2022.

Kini, Rijal tak lagi bisa mendapatkan momen seperti itu, yang mana ikan di pesisir Pulau Wawonii sudah jauh berkurang. Dia resah dengan kondisi laut sekitar Wawonii yang rusak akibat kelestariannya tak dijaga.

Dia tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi 10 tahun yang akan datang bila praktik bom ikan dan bius terus dilakukan. Apalagi, hampir separuh penghasilan masyarakat Konkep sangat didukung oleh sumber daya kelautan. Bila tidak upaya untuk melestarikan kawasan laut maka tentu kata dia, dampaknya adalah menurunnya tingkat kesejahteraan hidup masyarakat.

Oleh karena itu dengan jabatan yang diembannya sebagai Kepala Dinas Perikanan Konkep, Rijal ingin berbuat banyak. Dengan kehadiran Rare Indonesia yang memperkenalkan program program Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP), Rijal memberikan dukungan penuh.

Masa Depan Perairan Wawonii: Bagaimana Dukungan Pemerintah?
Muhammad Rijal

“Yang jadi fokus program ini untuk sementara di tiga kecamatan. Di sana sudah ditentukan kawasan larang ambil (KLA), ada tempat untuk kita bisa mengambil ikan dan lain sebagainya. Jadi itu sudah ada kawasan-kawasannya,” ujar Rijal.

Dalam rangka memperkuat program ini, Dinas Perikanan Konkep sementara menggodok peraturan bersama kepala desa terkait pengelolaan perikanan di Wilayah PAAP Wawonii. Penggodokan ini melibatkan kepala desa, perangkat desa, hingga tokoh-tokoh masyarakat.

Desa sebagai satuan pemerintahan terkecil dianggap bisa berperan secara langsung. Agar pemerintah desa tidak jalan dengan aturan sendiri-sendiri, apalagi ada begitu banyak desa di tiga kecamatan kawasan PAAP, maka digodoklah aturan bersama.

Dinas Perikanan sedang mempersiapkan Peratun Bupati (Perbup) agar semua pemangku kepentingan yang ada kaitannya dengan penanganan kelautan dapat dilibatkan. Misalnya Dinas Pekerjaan Umum (PU) dapat memprogramkan pembangunan yang berkaitan dengan perikanan dan kelautan, begitu pula Dinas Perhubungan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pariwisata, dan dinas-dinas lainnya.

Selain itu dengan adanya perbub, pihak pemerintah desa juga juga bisa terlibat dalam penganggaran karena ada dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD) yang dapat digunakan untuk keberpihakan terhadap pengelolaan perikanan.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Perbub juga bisa menjadi jawaban atas kendala selama ini, di mana organisasi perangkat daerah (OPD) terbatas mendukung PAAP karena belum ada payung hukum yang bisa jadi landasan mereka. Sehingga dengan adanya perbub, seperti Dinas Pariwisata dapat memprogramkan pengembangan spot wisata.

Terkait tanda batas kawasan PAAP yang belum ada, Dinas Perikanan Konkep telah mengusulkan ke Pemerintah Provinsi Sultra untuk dianggarkan. Sebab, kawasan laut menjadi kewenangan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sultra.

Rijal yang kurang lebih satu tahun lagi akan pensiun memiliki target utama untuk mensukseskan program PAAP. Dia ingin dapat meninggalkan sesuatu yang berharga bagi Pulau Wawonii selama menjadi Kepala Dinas Perikanan.

Dukungan Pemerintah Provinsi

Setelah menetapkan perairan Pulau Wawonii sebagai kawasan konservasi berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Kelautan dan Perikanan (KP) Republik Indonesia (RI) Nomor 23 Tahun 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI melimpahkannya ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra). Untuk sementara, pengelolaannya melekat di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sultra hingga nantinya terbentuk Satuan Unit Organisasi Pengelola (SUOP).

Saat ini, Pemprov melalui DKP memberikan dukungan penganggaran lewat Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2022. Untuk saat ini yang anggarannya sudah ada adalah pembuatan tanda batas wilayah konservasi.

Pembuatan tanda batas itu sudah dikontraktualkan ke pihak kontraktor. Semua titik-titik kawasan di Wawonii akan dibuatkan tanda batas sesuai Keputusan Menteri tentang wilayah konservasi. Anggarannya sekira Rp100 juta lebih.

“Setelah itu baru kita sosialisasi ke masyarakat bahwa ini tanda-tanda batasnya, mana yang dilarang dan mana yang dibolehkan,” ujar Pejabat Fungsional Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir DKP Sultra, Ishaq Warsandi di ruang kerjanya, 12 September 2022.

Masa Depan Perairan Wawonii: Bagaimana Dukungan Pemerintah?
Ishaq Warsandi

Selain penegasan soal pelarangan illegal fishing, keberadaan tanda batas itu juga untuk memperjelas tata letak dan aturan bahwa nelayan kategori besar dengan kapal berukuran 10 gros ton (GT) ke atas tidak boleh masuk menangkap ikan di wilayah konservasi. Bagi kapal nelayan besar yang memasuki wilayah konservasi bisa ditindak oleh aparat penegak hukum.

Dengan begitu, area penangkapan nelayan kecil di Wawonii akan lebih terlindungi dan ikan akan melimpah. Berbeda dengan sebelum ada Keputusan Menteri tentang wilayah konservasi yang mana nelayan kecil susah bersaing dengan nelayan besar.

Pengelolaan wilayah konservasi itu dipastikan akan lebih maksimal dengan adanya program pengelolaan akses area perikanan (PAAP) di dalamnya. Dalam pemetaannya, PAAP hanya mencakup 0 sampai 2 mil dari pantai sedangkan kawasan konservasi lebih luas lagi yakni 0 sampai 4 mil dari pantai. Dengan begitu zona-zona dalam PAAP menyesuaikan dengan zonasi kawasan konservasi.

Dikarenakan kawasan PAAP itu sendiri berada di dalam Kawasan Konservasi, maka bentuk pengelolaannya akan mengacu ke dalam Peraturan  Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan (KP) Republik Indonesia (RI) Nomor 21 Tahun 2015 tentang Kemitraan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan sebagaimana disebut pada pasal 3 ayat (2) bahwa kemitraan dilakukan oleh SUOP dengan masyarakat dalam bentuk perjanjian kemitraan.

Saat ini DKP Provinsi Sultra sedang menggodok perjanjian kemitraan atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan kelompok PAAP di Wawonii. Sesuai Permen KP bahwa boleh ada mitra kawasan konservasi yakni kelompok masyarakat. Ishaq menjelaskan, sebelum bermitra dengan DKP, harus ada perjanjian berupa apa yang dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

“Jadi, kawasan konservasi itu dilimpahkan ke gubernur, lalu gubernur memberi kewenangan ke Satuan Unit Organisasi Pengelola untuk mengelola dan bermitra dengan kelompok PAAP, tapi karena di sini Satuan Unit Pengelola belum ada maka sementara melekat di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi,” ujar Ishaq.

Bila kemitraan antara DKP dan kelompok PAAP sudah berjalan dengan baik, maka Ishaq memastikan program akan berkelanjutan. Dengan begitu, tidak akan tergantung lagi dengan organisasi Rare Indonesia yang telah mengawal program PAAP.

Selain itu, pemerintah juga dapat menurunkan anggaran secara bertahap, yang tetap dikelola bukan oleh kelompok masyarakat tapi oleh pemerintah karena melekat di Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-KL).

“Misalnya buat pelatihan, maka tidak bisa masyarakat yang dikasi duitnya.  Tetap Pemerintah Provinsi yang kelola anggarannya, jadi tidak ada bantuan langsung ke masyarakat,” ujar Ishaq.

Untuk dapat mengelola kawasan konservasi dengan baik, DKP Provinsi Sultra juga sedang mengupayakan terbentuknya Satuan Unit Organisasi Pengelola dalam bentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) di Wawonii. Sebab kata Ishak, bila hanya mengandalkan personel di DKP saat ini tidak akan maksimal.

“Kalau misal ada UPTD itu bisa 18 orang ada di situ, jadi mereka mengelola dan mengawasi akan gampang, tapi kalau saat ini kita di sini (DKP) hanya 7 orang itu sulit,” ujar Ishaq. (*/SF)

Reporter: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini