Membincang Mutasi di Kolaka Utara

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Isu mutasi di Kolaka Utara, kabupaten terujung Sulawesi Tengggara, yang merupakan tempat mudikku setiap tahun, sudah lama kedengaran. Para birokrat di sana sudah lama deg-degan menunggu mutasi, demosi, dan promosi ysng dijanji-janjikan.

Saya banyak mondar mandir ke sana, berinteraksi dengan birokrat setempat. Memang banyak jabatan eselon yang kosong dan tak kunjung diisi.

Dampaknya, tugas-tugas agak terbengkalai. Terutama hal-hal teknis. Tidak ada penanggungjawabnya. Itu yang saya rasakan di sepanjang interaksi saya dengan birokrasi Kolaka Utara. Dan pada hari Jumat, 31 Mei, berakhir sudah penantian itu. Paling tidak, untuk pejabat di level eselon tiga.

Sesungguhnya, mutasi, demosi, dan promosi di lingkungan birokrasi itu rutinitas. Bukanlah sebuah proses yang istimewa. Itu seperti kebutuhan dasar seperti makan, minum, dan bernapas bagi manusia. Birokrasi butuh mutasi untuk menciptakan penyegaran sekaligus regenerasi kepemimpinan yang bermuara pada membaiknya pelayanan publik oleh pemerintah daerah.

Hanya saja, kriteria yang digunakan bersoal. Dasar mutasi bukan soal prestasi dan kinerja, tetapi apakah birokrat yang bersangkutan mendukung bupati atau tidak saat pilkada berlangsung. Ini menjadi patron, tidak hanya di Kolaka Utara, tapi barangkali hampir di seluruh pemerintahan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) se-Indonesia.

Ada daerah yang mampu mengemasnya dengan apik dan halus. Ada daerah yang begitu telanjang mempertontonkan “penceburan birokrat ke ranah politik praktis” ini. Netralitas ASN hanya pemanis bibir saja. Akibatnya, mutasi terkesan seperti proses administrasi negara yang ugal-ugalan.

Pada mutasi di Kolaka Utara itu, terdapat pejabat eselon tiga yang diberhentikan (istilahnya di-non job), tanpa mempertimbangkan efek berganda yang timbul setelahnya.

Pejabat eselon tiga itu diberhentikan dan menjadi staf biasa tanpa dipindahkan dari kantornya. Pejabat eselon empat yang dulunya merupakan bawahannya, kini menjadi atasannya. Sementara pejabat yang nonjob ini telah bergolongan empat, sedangkan “atasannya” masih bergolongan tiga yunior.

Andai syahwat “balas dendam” itu sedikit teredam oleh akal sehat administrasi, maka sekalipun pejabat eselon tadi di-nonjob, paling tidak dia dipindahkan ke instansi lain agar secara psikologis, yang bersangkutan tidak terlalu terpukul. Sebab, pejabat itu adalah manusia. Bukan peralatan kantor seperti komputer yang dapat dipindah-pindahkan tanpa menimbang nurani.

Dampaknya, dia akan terdemotivasi untuk bekerja. Mungkin saja dia akan malas berkantor. Ujung-ujungnya, pada kerugian daerah sendiri. Padahal, esensi dari mutasi sesungguhnya adalah peningkatan kapasitas kerja.

Itu kita belum jauh berbicara pada persoalan right men in the right place. Sudahkah mutasi itu menempatkan orang sesuai kapasitas pengetahuannya? Mereka yang ditempatkan pada unit kerja tertentu, sama dengan latar pendidikannya, yang tentu berkorelasi dengan kompetensinya. Di Kolaka Utara saya meragukan itu.

Saya kira, mutasi di jajaran Pemda Kolaka Utara ini perlu menjadi diskursus parlemen setempat. Para anggota DPRD di sana selayaknya mendiskusikannya. Sebab jika tidak, ASN alih-alih menjadi mesin birokrasi, justru terjatuh ke lembah pragmatisme, sekadar mesin politik praktis. Bapak-bapak yang terhormat, kalian punya saingan…hehehe.***

 


Oleh Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini