ZONASULTRA.COM, BATAUGA – Pada suatu siang (Kamis, 25/11/2021) di kampung Lagundi menunjukkan pukul 11.30. Matahari yang bersinar cerah dari pagi dan tanpa hembusan angin membuat La Djono bergegas menuju pantai. Jaraknya hanya berjarak 750 meter dari kampung yang khusus dihuni para eks pengungsi Ambon itu.
Namun begitu sampai, La Djono dihadapkan dengan angin kencang dan ombak yang tak bersahabat. Padahal, ia hendak memancing ikan dengan sampan miliknya yang hasilnya akan dijual ke pasar. Dia pun langsung pulang tanpa hasil.
“Gelombang tinggi, terpaksa tadi balik daripada dihantam gelombang. Eh momati begitue,” ujar pria berusia 50 tahun ini dengan kesal ketika sampai di rumahnya.
Begitulah, sekelumit tantangan pekerjaan di kampung yang masuk dalam wilayah Kelurahan Jaya Bakti, Kabupaten Buton Selatan itu. Pekerjaan warga setempat lainnya adalah bertani, berdagang di pasar, beternak, sebagai buruh bangunan, dan tukang ojek.
Warganya berjumlah 52 kepala keluarga (KK) atau 227 jiwa, semuanya merupakan pengungsi Ambon serta anak-anak mereka. Sebagian di antara mereka sudah membangun rumah beton. Sebagian lagi masih tinggal di belasan rumah papan kayu berbentuk couple 10 x 5 meter persegi. Masing-masing unit rumah bantuan 20 tahun lalu itu hanya berukuran 5 x 5 meter persegi untuk satu kepala keluarga (KK).
Tak seperti kampung lain yang letaknya berdekatan, kampung pengungsian ini berjarak 1 hingga 2 kilometer dari kampung lainnya. Hal ini membuat kampung ini begitu tenang, tak terdengar kebisingan kendaraan bermotor.
Tetap Bertahan di Kampung Lagundi
Selain menjadi nelayan, tak banyak pilihan bagi La Djono untuk mencari penghidupan. Dia juga berkebun tapi cuaca akhir-akhir ini yang terus hujan membuat lahan di kampung itu becek, tak bisa ditanami sayuran.
Memang kata dia, lahan di kampung itu subur tapi sangat tergantung dengan cuaca untuk dapat ditanami. Misalnya bila hujan terlalu sering maka air akan menggenang dan becek, sementara bila cuaca panas, tanahnya akan pecah-pecah.
Tantangan-tantangan seperti itu masih lebih baik baginya dibanding harus kembali ke Ambon, tanah kelahirannya. Dia adalah salah satu dari gelombang pengungsi yang datang ke Buton akibat kerusuhan Ambon 1999.
Sama seperti dirinya, ayah dan ibunya juga lahir di Ambon. Mereka memiliki keterikatan dengan Buton dari garis kakek dan neneknya yang berasal dari Pulau Binongko. Sementara istri La Djono juga berasal dari Buton, tepatnya Sampolawa.
Sebelum kerusuhan, La Djono dan sang istri tinggal di Desa Galala, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon. La Djono ketika itu adalah pekerja di perusahaan pengolahan ikan sedangkan istrinya hanya ibu rumah tangga biasa.
La Djono masih ingat kerusuhan itu pecah ketika lebaran Idul Fitri Januari 1999. Konflik ini melibatkan sentimen agama di kepulauan Maluku. Perseteruan terjadi antara umat Islam dan Kristen yang menyebar dengan cepat ke pemukiman-pemukiman warga.
Sebagai keluarga muslim, pemukiman mereka yang dihuni 50 KK orang Buton jadi lokasi yang rawan karena tepat berada di tengah-tengah pemukiman Kristen. Ketika kerusuhan pertama itu, istri dan dua anaknya langsung ke Buton sementara di La Djono sendiri masih bertahan di Ambon. Selama bertahan itu, La Djono melewati beberapa kerusuhan susulan yang memakan banyak korban jiwa.
La Djono menyaksikan langsung mayat bergelimpangan tanpa bisa berbuat apa-apa. Bila mencoba menyinggung mayat-mayat itu maka dia juga akan dibunuh. Jadinya yang bisa mengevakuasi jenazah hanya aparat keamanan.
“Kalau di lingkungan kami itu yang kita takutkan hanya orang dari luar saja kalau masuk di situ. Kita aman-aman saja karena bersahabat dengan mereka. Jadi mereka tidak apa-apakan. Tapi kalau ada mayat kita hanya bisa lihat saja nanti aparat yang datang ambil,” ucap La Djono mengenang.
Pengalaman lainnya, dia merasakan sendiri bagaimana ayam lebih berharga dari nyawa manusia. Itu terjadi ketika si temannya ini protes karena ayamnya hilang, yang ternyata dijadikan makanan oleh kelompok massa yang sedang berjaga. Karena protes itu, temannya dibunuh saat itu juga.
Meski melewati masa-masa genting, La Djono masih tetap bertahan di Ambon hingga setahun sejak kerusuhan pertama pecah. Dia masih sempat mengurus pesangon dari perusahaan tempatnya bekerja. Usai mendapatkan pesangon itu, dia pun langsung pulang pada tahun 2000.
Selama kerusuhan itu, dia juga melihat langsung satu kerabat dekatnya turut tewas secara mengenaskan. Selain itu, keluarganya semua selamat karena langsung mengungsi sejak pecah kerusuhan pertama.
Khusus rumahnya jadi satu-satunya yang tidak dibakar di kampungnya. Terkait rumahnya yang tak diganggu ini sebab La Djono menitipkannya ke orang tua angkatnya yang beragama Kristen. Hingga sekarang rumah itu masih ada dan sudah diberikannya ke kedua orang tua angkatnya tersebut.
Setelah 20 tahun lebih berlalu, La Djono menganggap semua kejadian di Ambon tinggal kenangan. Dia mengaku tegar meski dulu setelah kejadian itu selalu terbayang. Agar tak stres akibat kerusuhan itu, dia mengisi waktu dengan berbagai aktivitas mulai dari bertani hingga melaut.
“Kalau saya tidak terlalu trauma dengan kejadian itu. Hanya pertama sekali dulu sampai di sini, itu bunyi toleng-toleng saja itu, kita takut e,” ucapnya.
Bunyi tersebut menyerupai bunyi tiang listrik yang dipukul dengan menggunakan batu. Bunyi tiang listrik selama kerusuhan Ambon dijadikan tanda untuk siaga bahwa ada penyerangan di kampung. Makanya dahulu, dia akan selalu khawatir dan was-was bila mendengar bunyi serupa.
“Kita fokus kerja, pokoknya kita cari kegiatan. Kalau tidak e bisa stres. Tapi yah mau bagaimana sudah dari sononya begitu. Kalau saya itu tidak yakin bahwa mau ada kerusuhan itu. Bagaimanakah kalau lebaran mereka datang ke kita, dan mereka punya acara tahunan juga kita pergi ke mereka,” ucap La Djono.
La Djono tak begitu tahu penyebab kerusuhan yang melibatkan kaum muslim dan nasrani itu. Dia juga tak mau mencari tahu penyebabnya. Baginya kerusuhan itu sudah kuasa ilahi bahwa mereka memang harus pulang ke Buton.
Setelah sampai di Buton, La Djono langsung mulai mencari jalan untuk menghidupi keluarganya. Sebagai tempat tinggal mereka mendapatkan bantuan satu unit rumah kayu 5 x 5 meter persegi di Kampung Lagundi.
Di Lagundi, dia belajar jadi nelayan meskipun sebelumnya tak tahu sama sekali, bahkan untuk ikat mata pancing saja tak pandai. Seiring waktu, keadaan memaksanya mulai belajar dari naik sampan hingga memancing ikan.
Hasil dari melaut dan berkebun untuk dimakan sendiri bersama keluarga dan ada pula yang dijual ke pasar. Dua penghidupannya ini sangat tergantung dengan cuaca, seperti pada satu dua bulan ini dia tak bisa berbuat banyak. Dia tak berani ke laut karena kencang ombak sedangkan di darat hujan terus sehingga tanah yang terendam air tak bisa ditanami.
Kendati begitu, dia merasa nyaman dan bersyukur bertahan di situ daripada harus balik ke Ambon. Ada beberapa hal yang disukainya dari Kampung Lagundi, misalnya kehidupan yang tenang, air bersih mudah didapat, dan warganya yang semuanya eks pengungsi Ambon sangat kompak.
La Djono kini hidup dengan seorang istri dan satu anak bungsunya, sementara 3 anaknya yang lain keluar daerah untuk sekolah dan bekerja. Hingga kini, ia masih sering berkomunikasi lewat telepon dengan orang tua angkat dan teman-temannya yang masih berada di Ambon, sekadar berkabar atau hanya menyapa.
Bersyukur Hidup Damai
Kisah lainnya, adalah Wa Ode Lili Handayani (37) yang juga penyintas kerusuhan Ambon. Ia kini hidup damai di kampung Lagundi. Bersama suaminya Andi Rifai (40), ia dapat beradaptasi dengan kondisi kampung tersebut.
Ketika kerusuhan pecah Januari 1999, Lili masih remaja kelas 2 SMP. Ia tinggal di Desa Waai Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah. Ayahnya bekerja sebagai nelayan dan ibunya bekerja sebagai petani. Ayah dan ibunya ini merupakan keturunan Buton yang lahir di Ambon.
Bila berbincang soal kerusuhan Ambon, Lili masih ingat dengan kejadian yang mengancam nyawanya yakni ketika ia dan saudara-saudaranya pergi mengecek rumahnya yang terbakar. Saat mengecek ini berondongan peluru nyaris menganai kepala mereka.
“Kalau orang lain hanya dengar-dengar, kita alami langsung. Saat itu kita pergi lihat keadaan rumah, kan sudah selesai (kerusuhan redah), sengaja kita pergi siapa tahu masih ada kita punya barang masih ada yang tersisa. Pas pulang, peluru-peluru tembakan itu sudah di atas kepala. Makanya kita lari saja tidak usah kembali,” ucap Lili.
Saat lari itu, Lili hanya bisa menangis selain karena lolos dari tembakan itu juga karena sedih melihat rumahnya yang sudah terbakar. Mereka pun sekeluarga mengungsi sekitar 2 pekan setelah kerusuhan pertama. Mereka menuju Buton, sebagai asal leluhur.
Setelah sampai di Buton, Lili sempat melanjutkan sekolah hingga tamat SMP di Sampolawa. Saat tamat SMP, ia tak lagi melanjutkan sekolah hingga akhirnya menikah dan memiliki 6 orang anak. Kembali ke Ambon bukan lagi pilihan baginya.
Bila membayangkan kejadian kerusuhan itu, Lili mengaku ada perasaan takut dan tak ingin kembali pada keadaan itu. Lili kini bersukur dengan kehidupan barunya yang damai. Sebagai ibu rumah tangga, ia tak tinggal diam di rumah tapi turut mencari nafkah bagi keluarganya.
Lili membuat makanan khas songkolo yang dijualnya sendiri di pasar. Makanan itu terbuat dari beras ketan yang juga dibelinya di pasar. Pelanggannya rata-rata dari eks pengungsi karena jenis makanan itu, salah satu yang dulu banyak digemari di Ambon.
Membina Kerukunan
Kampung Lagundi merupakan kawasan yang dikhususkan untuk pengungsi Ambon 1999. Sebelum jadi pemukiman, tanah yang masuk dalam administrasi Kelurahan Jaya Bakti ini banyak ditumbuhi pohon lagundi yang memang biasa tumbuh di rawa-rawa daerah pesisir. Jadilah kampung itu bernama Kampung Lagundi.
Kawasan Lagundi seluas 20 hektare disebut juga tanah “kaombo”, artinya tanah yang “diperam”. Maksudnya sejak zaman dahulu kawasan itu dibiarkan kosong untuk mengantisipasi banyaknya orang Buton yang pergi merantau. Dengan banyaknya perantau yang mengungsi akibat kerusuhan Ambon 1999 maka kawasan itu langsung dibuka sebagai lokasi pengungsian.
Sejak pengungsi mulai berdatangan, kawasan Lagundi sudah menjadi daerah tujuan. Sejak tahun 1999 para pengungsi mulai membangun rumah dengan bahan-bahan seadanya. Masing-masing kepala keluarga mendapat kaveling tanah 20 x 20 meter persegi.
Berdasarkan perjanjian dengan dewan adat Sara Mambulu, para pengungsi bisa tinggal selama-lamanya tapi tanah itu tidak bisa diperjualbelikan dan tidak boleh disertifikatkan, termasuk tidak bisa jadi agunan untuk modal usaha.
Kondisi tanahnya cukup subur untuk budi daya sayur-sayuran dan beberapa jenis tanaman lainnya. Namun semua sangat tergantung pada cuaca, sebab bila intensitas hujan tinggi maka air akan menggenang, sedangkan bila kemarau tanahnya akan pecah-pecah. Kondisi ini membuat mereka tak konsisten bertani.
Oleh karena itu, masyarakat setempat tak bisa hanya bertani, tapi ada juga yang jadi buruh bangunan, nelayan, dan pedagang. Kebanyakan menjadi nelayan pemancing dan bagang.
Awalnya mereka di kampung itu ada sekitar 150 KK, tapi kini tersisa 52 KK karena sudah banyak menyebar ke daerah lain. Mereka yang memilih menetap di kampung itu sudah nyaman dan enggan kembali ke Ambon karena trauma dengan kerusuhan 1999.
Kendati dihadapkan pada trauma dan tantangan di kampung itu, mereka tetap saja diwarnai rasa optimis menjalani kehidupan dengan kebersamaan. Masih kental logat Ambon di antara mereka. Kata-kata seperti “beta, ose, seng, katong,” masih lekat dalam percakapan mereka sehari-hari.
Perasaan senasib membuat mereka kompak. Kekompakan ini tercermin dalam tradisi masohi yang masih mereka lestarikan. Kata “masohi” berasal dari bahasa daerah di Ambon yang artinya gotong royong.
Seperti pada Kamis (25/11/2021), sejak pukul 05.50 pagi imam kampung tersebut, La Ode Udin (59) mengumumkan lewat pengeras suara masjid bahwa dua jam lagi akan ada kerja bakti pembersihan lingkungan. Pemberitahun itu disambut belasan warga yang datang dengan berkumpul di depan jalan kampung tepat pukul 08.00.
Masing-masing pria datang dengan parang dan sapu. Sementara beberapa ibu-ibu berkumpul di satu rumah membuat gorengan ubi dan pisang untuk yang bekerja bakti. Kebersamaan di antara mereka begitu kental ketika ada kegiatan seperti ini.
Dengan kerja bakti, kampung yang khusus dihuni 52 KK eks pengungsi itu jadi tampak bersih, sepanjang jalan dan selokan bebas dari sampah. Setelah dua jam, ketika matahari mulai terik barulah mereka menyantap gorengan dan minuman manis secara bersama-sama.
Kepala Rukun Tetangga (RT) Lagundi, La Ode Supu (54) menyebut kegiatan seperti itu sudah jadi tanggung jawab bersama. Makanya begitu ada pengumuman, warga yang sedang tak ada kegiatan mendesak pasti datang.
“Kita warga di sini memang begini. Sudah biasa saling bantu misalnya kalau ada yang bangun rumah, itu kentara sekali, atau misalnya ada pesta. Karena kita sama-sama di sini, tidak akan bisa kalau sendiri-sendiri,” ujar La Ode Supu.
Tradisi itu kata dia, juga jadi sarana bagi mereka dalam membina kerukunan selama 20 tahun yang tanpa konflik. Bagi mereka, setelah berhasil selamat dari kerusuhan lalu kini bisa hidup aman dan damai adalah suatu hal yang selalu disyukuri.
Lurah Jaya Bakti La Ode Dirham mengatakan selama ini tidak ada kerawanan menonjol di kampung itu. Masyarakat Lagundi mampu menyelesaikan masalahnya sendiri apabila terkait hal-hal yang mengarah ke konflik. Dia juga melihat warga Lagundi mampu menyatu dengan kelompok masyarakat lain di kecamatan itu.
“Secara historis mereka memang ada keterikatan darah dengan masyarakat di Jaya Bakti sini. Makanya kenapa Sara Mambulu memberikan mereka tanah di sini. Hanya memang saya lihat perjanjiannya dengan Sara itu status tanah ini hanya hak pakai, bukan hak milik,” ujar Dirham.
Terdapat sejumlah dampak positif dari hadirnya warga Lagundi karena mereka jadi penyuplai kebutuhan masyarakat di pasar, seperti ikan dan sayuran. Selain itu kata Dirham, mereka juga mencetuskan adanya jualan makanan sore dan beberapa aneka camilan sesuai kebiasaan di Ambon. (*)
Reporter: Muhamad Taslim Dalma