Merapal Semoga di Pelataran Masjid Al Alam

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Tidak lama setelah Al Markaz Al Islami di Kota Makassar diresmikan pada tahun 1996, masjid yang dimotori pembangunannya oleh mantan Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf itu, menjelma menjadi pusat peradaban dan pengkajian. Bukan hanya kajian Islam, juga sosial budaya, pendidikan, hingga ekonomi.

Saya (kembali) menjejaki Makassar pada tahun 1998 sebagai mahasiswa. Dua tahun setelah masjid itu diresmikan. Sebuah kebanggaan besar bagi kami, anak-anak kost di kawasan Tamalanrea, jika pada hari Jumat menyempatkan diri Shalat Jumat di masjid itu.

Pernah satu dua kali janjian dengan teman untuk ikut komunitas “kajian” Bahasa Inggris dan Bahasa Arab yang digelar pada hari-hari tertentu di masjid itu. Tapi tidak pernah terwujud. Mahal di ongkos bagi kami –para pemuda ndeso– yang harus naik pete-pete untuk ke sana.

Pernah juga hampir saja nekad nebeng makan gratis di sebuah pesta pernikahan yang digelar di aula masjid. Tapi karena tampilan kami yang begitu butut, nyali kami ciut untuk membawa amplop kosong masuk ke pesta orang yang kami tak kenal itu.

Sampai ketika sudah punya penghasilan sendiri, ketika bulan Ramadhan jelang lebaran –sebelum mudik ke kampung– kami kerap berburu baju lebaran di koridor masjid pada hari Jumat, hari ketika orang-orang diperbolehkan menggelar dagangan.

Begitulah. Masjid Al Markaz Al Islami menempati ruang kehidupan sosial masyarakat Kota Makassar. Dan Sulawesi Selatan secara umum.

Di sana ada perpustakaan, taman kanak-kanak, taman bacaan al Qur’an, kelompok bimbingan ibadah haji, koperasi, baitul maal wattamwil, lembaga penerjemahan al Qur’an, lembaga bahasa asing (Inggris, Arab, Perancis, Jepang, Mandarin, Jerman, dan Spanyol).

Ada radio penyiaran, aula serba guna, kajian-kajian rutin, komunitas-komunitas diskusi dan keterampilan berbahasa asing, dan tempat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel berkantor.

Masjid itu berdekatan dengan Masjid Raya Makassar, yang merupakan masjid legendaris warga Makassar. Kedua masjid itu berada dalam satu ruas jalan yang sama. Jalan Masjid Raya.
***
Sejak diresmikannya Masjid Al Alam di Kota Kendari pada 2018 silam, saya merapal banyak semoga untuk masjid megah di tengah laut ini.

Oh ya, masjid kebanggaan warga Kendari ini dua kali diresmikan. Pertama oleh Wakil Gubernur Sultra Saleh Lasata (12 Februari 2018). Kedua, grand opening oleh Pj. Gubernur Teguh Setyabudi (27 April 2018).

Inisiator pembangunan masjid ini, Gubernur Sultra Nur Alam, keburu tersandung persoalan hukum, sehingga tidak dapat menyaksikan langsung peresmian masjid yang dibangunnya.

Setahun lebih sudah masjid ini digunakan. Pembangunan jalan akses keluar masuknya belum rampung. Sedikit lagi. Demikian pula lokasi parkir kendaraannya. Hampir selesai.

Bersamaan dengan itu Masjid Raya Al Kautsar, masjid utama warga Kendari, turut didandani. Bangunan dan fasilitas pendukungnya dibuat lebih megah dan nyaman.

Lokasi masjid ini lebih strategis karena berada di jalur utama lalu lintas warga. Berada di tengah-tengah pemukiman. Masjid ini juga telah lama berfungsi sebagai pusat kajian Islam, meski peran dan fungsinya tidak sekomplit Al Markaz al Islami.

Beda dengan Masjid Raya Makassar, Masjid Al Markaz al Islami, Masjid Raya Al Kautsar Kendari, yang terletak di tempat berlalu lalangnya orang-orang, Masjid al Alam perlu kunjungan khusus. Sebab letaknya di tengah laut. Dia jauh dari warga dalam pemaknaannya yang harfiah.

Sehingga mereka yang menyempatkan diri berkunjung ke sana tentu punya maksud-maksud tambahan selain shalat. Bahkan, sesungguhnya banyak yang tidak bermaksud shalat. Sekadar jalan-jalan mencari angin, berolahraga, atau selfie-selfie, hingga bermain dengan hewan semisal menerbangkan elang peliharaannya.

Di waktu Shalat Dhuhur, jamaahnya tidak cukup satu shaf. Pemandangan serupa ketika memasuki Asar. Justru orang-orang mulai ramai berdatangan setelahnya, lalu pulang sebelum Magrib tiba.

Pemandangan yang begitu ironis untuk sebuah tempat beribadatan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ketika Shalat Isya dan Subuh, sebab saya tidak pernah ke sana di dua waktu itu.

Kembali saya bersemoga. Mudah-mudahan Masjid al Alam tidak menjadi tempat “wisata” semata. Yang kering dengan kajian dan diskusi. Yang jauh dari denyut sosial dan ekonomi umat.

Paling tidak, biarlah kantor MUI Sultra bermarkas di sini. Tidak usah berkantor yang entah dimana –setelah kantornya dibanguni gedung belasan tingkat. Agar ada alasan bagi umat untuk datang. Setidaknya menjumpai para alim ulama.

Semoga Masjid al Alam tidak sekadar menjadi pelabuhan kepenatan fisik, tapi juga menjadi dermaga bagi jiwa-jiwa yang lelah. Menjadi rahim bagi lahirnya solusi-solusi atas problematika hidup dan kehidupan kita.

Ah, saya merasa ganjil dengan semoga yang kurapalkan ini. Saya bersemoga untuk sebuah tempat dimana semoga seyogyanya dirapalkan.

Saya berdoa untuk sebuah tempat dimana doa –seyogyanya– dimulai darinya.***

 


Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini