ZONASULTRA.ID, KENDARI – Berwisata ke Kabupaten Muna Barat, Sulawesi Tenggara (Sultra), jangan lewatkan mengunjungi Pemandian Wakante, salah satu objek wisata favorit di daerah itu.
Tak hanya menjadi andalan bagi masyarakat setempat, daya tarik wisata ini sudah tersohor hingga di luar Mubar.
Pemandian Wakante terletak di Desa Latugho, Kecamatan Lawa, Muna Barat. Pemandian ini berjarak sekitar 20 kilometer dari Raha, ibu kota Kabupaten Muna.
Kepala Desa Latugho, Amiruddin, menjelaskan, saat ini belum ada retribusi masuk di Pemandian Wakante.
Ia bercerita, Wakante dibuka pada 1973. Saat itu lokasi tersebut masih hutan belantara. Masyarakat datang dari kampung lama membuka lahan baru di Desa Latugho karena di tempat lama mereka kekurangan air.
Desa Latugho kini dihuni sekitar 2.000 warga dari 480-an kepala keluarga. Mayoritas penduduk di desa ini adalah petani.
Masyarakat Desa Latugho mulai melihat potensi Pemandian Wakante untuk dijadikan tempat wisata. Pada 2010, ada bantuan anggaran dari pemerintah bernama PNPM LMP. Lewat bantuan tersebut, dibuat talut di sekeliling Wakante.
Setelah dibuat, pemerintah daerah mulai melirik. Masuklah dana dari pemerintah untuk membuat gazebo, paving block, dan lain-lain.
Pada 2015, masuk lagi dana dari pemda lewat dispar untuk membuat gazebo besar serta pengerasan jalan dari jalan poros menuju Wakante.
Kemudian dibuatkan jalan masuk dan jalan keluar bagi kendaraan menggunakan dana desa pada 2018.
“Wakante ini kan ramai kalau musim tahun baru, atau hari keagamaan, biasanya macet, olehnya kita buatkan jalan masuk dan keluarnya,” ujarnya.
Menurutnya, ada banyak potensi yang perlu dikembangkan di Wakante, di antaranya pembuatan kolam renang baru untuk anak-anak.
“Kami ingin membuat kolam renang yang lebih efektif, karena kolam sebelumnya cukup berbahaya untuk anak-anak, agar mereka nyaman berenang di sekitaran Wakante,” kata Amiruddin.
Selain kolam, pihaknya juga ingin membuat flying fox karena aliran sungainya cukup panjang, serta lapangan perkelahian kuda.
Desa Latugho memang terkenal dengan kudanya. Biasanya saat menjemput tamu khusus, baik dari pemerintah pusat ataupun provinsi menggunakan atraksi perkelahian kuda.
Namun, ada beberapa persoalan untuk mengembangkan pemandian ini, yakni persoalan lahan di sekitaran Wakante yang masih belum memiliki sertifikat kepemilikan.
“Pertanahan tidak mau mengukur di sekitaran Wakante, masyarakat mengklaim itu lahan mereka karena digunakan untuk bercocok tanam. Ukurannya kurang lebih 80×80, di luar kawasan yang digunakan warga,” terangnya.
Olehnya, pemda diminta untuk membuat perda terkait masalah lahan di sekitar Wakante agar ada legalitas tanah. Jangan hanya SK saja, tapi pemerintah desa punya pegangan.
Baca Juga :
Mengenal Wisata Puncak Ulu Rina di Kolaka, Menawarkan Fasilitas Kolam Renang di Ketinggian
“Berapa radius untuk masyarakat. Karena lahannya sulit untuk dikembangkan, sudah sempit lahannya. Setengah mati dikembangkan, seperti untuk tambah lokasi kuliner dll,” ujarnya.
Saat kunjungan Pj Bupati Mubar, Bahri ke Wakante, pemdes disarankan untuk membuat perencanaan atau design dalam bentuk proposal.
“Nanti beliau bantu fasilitasi, jika pemda tak mampu, bisa langsung ke kementerian. Karena kita ingin PAD lebih besar yang dikelola oleh BUMDes,” akunya.
Di sekitaran Pemandian Wakante juga terdapat kolam ikan dan kolam renang bagi anak yang dikelola oleh masyarakat setempat.
Kaimudin, pengelola kolam ikan di sekitaran Pemandian Wakante mengatakan, ia mengelola tempat itu sejak 1991. Awalnya ia memelihara ikan, seperti ikan mas, gurame, nila, dan koi. Luasnya sekitar satu hektare. Ia juga membangun gazebo.
“Awalnya saya dikatakan orang gila, karena tempat ini dulu angker. Masih hutan belantara,” ujarnya.
Kaimudin membangun kolam tersebut murni menggunakan uang pribadi sekitar Rp20 jutaan. Ia menarik retribusi masuk Rp2.000 dan untuk mandi bola Rp3.000. Booking gazebo Rp100 ribu per unit.
“Paling ramai itu hari Minggu. Dari hasil ini saya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari,” katanya. (*)
Kontributor: Ilham Surahmin
Editor: Muhammad Taslim Dalma