Di dunia pers, ada dua jenis berita. Pertama, berita peristiwa atau kejadian. Berita yang turun dari langit. Begitu kira-kira jika disederhanakan. Narasumbernya adalah mereka yang terlibat dalam peristiwa itu secara langsung.
Kedua, berita by design. Berita yang sengaja dibuat dengan maksud tertentu. Narasumbernya sudah ditentukan.
Relatif mudah membuat berita perisitiwa. Fakta-faktanya sudah terpampang di depan mata. Narasumbernya tersedia saat itu juga.
Lain halnya dengan berita by design. Ini merupakan berita yang dibuat untuk merespon sebuah peristiwa atau sebuah isu. Bahkan malah menciptakan isu. Butuh penanganan yang lebih serius, terutama dalam menentukan narasumber.
Pada jurnalisme modern, ada konsep yang dikenal dengan istilah 3W+4B. Ini bukan konsep yang baru-baru banget. Sudah belasan tahun diperkenalkan. Huruf B pada 4B merupakan singkatan dari benefit. Dalam kaitannya dengan penentuan narasumber, satu dari 4B tadi adalah intellectual benefit.
Sebuah berita harus memberikan manfaat intelektual bagi pembacanya. Sebab, satu dari empat fungsi pers adalah mengedukasi pembaca (tiga lainnya: menyajikan informasi, kontrol sosial, menghibur). Agar tahu, agar paham, agar sadar, agar literate.
Keliru menentukan narasumber, lembaga pers dapat kehilangan fungsinya. Paling hanya berfungsi untuk menghibur. Maksudnya, membuat pembaca tertawa-tawa penuh makna…hehehe.
Ada banyak variabel yang dipertimbangkan dalam menentukan narasumber pada berita by design yang akan dibuat. Namun tulisan ini membatasinya pada aspek kapasitas dan kompetensi narasumber saja. Di sini, kita banyak menjumpai media yang keliru menempatkan kapasitas dan kompetensi narasumbernya terhadap berita by design yang hendak mereka buat.
Para aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), misalnya, merupakan narasumber yang sangat kompeten jika diminta pendapatnya tentang dampak pertambangan terhadap lingkungan. Sebab mereka tidak berkata-kata bermodal perasaan semata. Mereka punya data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Akademisi yang menggeluti kesehatan lingkungan sangat berkapasitas jika berbicara perihal apakah para tenaga kerja asing (TKA) asal Cina sudah bisa masuk Morosi atau tidak di tengah wabah Covid-19 yang belum usai. Terlepas bahwa akademisi itu setuju atau tidak setuju, dia tentu berbicara dengan kapasitas keilmuannya. Pernyataannya adalah pandangan akademik. Ilmiah.
Dalam konteks inilah kita menemukan banyak media yang keliru memilih narasumber. Ada media yang menurunkan berita dengan meminta pendapat seorang mahasiswa yang berkecimpung di organisasi mahasiswa kehutanan mengenai kebijakan masuknya 500 TKA ke Morosi. Jabatan mahasiswa ini cukup mentereng karena pengurus nasional.
Saya menyangka dia akan mengkritisi kebijakan pemerintah dalam sudut pandang perlindungan hutan. Namun mahasiswa ini justru ngomong perihal situasi pandemi Covid-19 yang belum kelar.
Saya tidak ingin mengomentari omongan mahasiswa ini. Saya hanya terkesima dengan kebijakan redaksional media itu meloloskan berita demikian yang dikirim wartawannya. Menyedihkannya lagi, narasumber ini bicara sendirian. Tidak ada narasumber lain sebagai penyeimbang atau pembanding.
Demi menjamin keberimbangan berita, ada doktrin dalam dunia pers, “satu sumber bukanlah sumber”. Sehingga silogisme yang bisa dibangun dari doktrin tadi adalah “berita dengan satu sumber bukanlah berita”.
Selain itu, ada kecenderungan media (kebanyakan online) menjadikan mahasiswa sebagai narasumber. Segala topik. Segala isu. Pokoknya, kalau mau kritik pemerintah, cari mahasiswa. Mau substansinya perihal teknis atau bukan, mau kapasitasnya relevan atau tidak, urusan belakangan.
Tidak hendak mengecilkan kapasitas mahasiswa sebagai sosial kontrol kita, namun media seharusnya pandai menempatkan kapasitas mereka. Media harus kreatif “mengawinkan” pendapat narasumber.
Sebab, semua orang bisa berpendapat. Begitu seorang manusia sudah pandai bicara, dia sudah punya pendapat sendiri tentang suatu hal. Soal ngawur atau tidak, lain soal. Media tidak bisa asal comot narasumber. Asalkan dia dijamin ngomong tidak. Atau dijamin ngomong iya. Ambil. Serang. Gempur.
Lembaga pers memanggul tugas mulia. Pers adalah pilar keempat dalam demokrasi. Kebetulan negara kita (masih) menganut demokrasi. Demokrasi Pancasila. Yang sekarang mau diperas kayak cucian hendak dijemur. Jadi Ekasila.
Kecermatan memilih narasumber akan berdampak pada kualitas narasi yang dibangun lembaga pers. Beritanya benar-benar dipandang sebagai input bagi kehidupan berkebangsaan kita. Tidak hanya bunyi-bunyi yang bising. Tapi benar-benar suara. Yang didengarkan. Yang disimak.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Publik, Dinas Kominfo Prov. Sultra