ZONASULTRA.COM, RUMBIA – Usai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 544 karyawannya pada pertengahan November 2018, PT Surya Saga Utama (SSU) kembali berulah dengan membuat surat pengunduran diri (resign) seluruh mantan karyawan yang ada.
“Setelah kami di-PHK, sekarang ada surat pengunduran diri yang disodorkan ke kami untuk ditandatangani,” beber Simon, mantan Humas PT SSU yang juga menjadi korban PHK, di Rumbia, Kamis (6/12/2018).
Menurut Simon, pimpinan perusahaan berupaya menutupi kesalahan pelanggaran atas PHK yang terindikasi melanggar aturan beberapa waktu lalu.
“Sampai hari ini belum pernah ada yang mau bertandatangan. Anehnya, surat resign ini atas nama Willi selaku HRD perusahaan itu. Setelah kami cek tanda tangannya ditemukan berbeda dan yang menandatangani surat itu adalah Direktur PT SSU, Kasra Jaru Munara,” ungkap Simon menunjukkan keheranannya.
Kepala Bidang penyelesaian Perselisihan Disnakertrans Bombana Ahmad Edi Maidy menegaskan, dua jenis tindakan yang dilakukan PT SSU saat ini telah menyalahi aturan. Pertama, proses PHK karyawan dan kedua penyodoran surat resign. Ia menilai perusahaan yang bergerak pada sektor pertambangan di Pulau Kabaena itu sudah keterlaluan mengeluarkan kebijakan.
“Hingga kini kami tak pernah menerima bukti otentik soal PHK. Sekarang, perusahaan itu mencari jalan keluar dengan berupaya membujuk melalui surat pengunduran diri. Semestinya, pihak perusahaan itu datang ke kantor kami dan ungkapkan kendala yang sebenarnya hingga harus melakukan PHK, apakah sesuai aturan atau tidak, minimal kami bisa memberi solusi,” ujar Edi saat menemui beberapa mantan karyawan PT SSU di ruang kerjanya, Kamis (6/12/2018).
Berita Terkiat : PHK Massal Karyawan PT SSU Tanpa Sepengetahuan Disnakertrans Bombana
Ahmad menekankan bahwa PHK yang dilakukan PT SSU tersebut tidak bisa disahkan di mata hukum dan semua karyawan diakuinya masih berstatus aktif.
“Memangnya PHK dan menyatakan bangkrut itu gampang, semua ada mekanismenya. Kendatipun mau PHK harus ada musyawarah bersama terkait adanya kesalahan karyawan dan diterapkan selambat-lambatnya 30 hari sebelum mengajukan pengunduran diri,” tukasnya.
Meskipun perusahaan bangkrut, minimal pernah menjalani audit keuangan hingga diketahui berapa jumlah kerugian dan kemudian dilelang oleh negara. Namun pimpinan PT SSU justru beralih ke pasal 169 UU Ketenagakerjaan dengan membuat resign untuk mengelabui hukum.
“Intinya perusahaan itu telah keliru menerapkan aturan hingga harus melabrak aturan internal maupun UU ketenagakerjaan ” urainya.
Praktisi hukum asal Kabaena, Masri Said yang saat ini menjabat Advokat Managing Partners, Peradi Cabang Sultra menanggapi polemik yang terjadi di internal PT SSU. Kata dia, PHK di perusahaan itu baru akan diakui sah di mata hukum ketika pernah melalui izin dari PHI.
Masri pun menyayangkan tindakan PT SSU tersebut. Sebab, dalam yuridis telah diatur bahwa perusahaan wajib melapor ke lembaga terkait untuk bisa melakukan PHK tanpa mengabaikan pembayaran hak normatif karyawan, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003.
Semestinya perusahaan juga wajib melakukan upaya pencegahan berupa pengurangan upah dan bipartit hingga mufakat. Dengan demikian, perusahaan itu wajib menerima konsekuensinya bahwa PHK batal demi hukum.
“Pemberhentian itu dianggap tidak pernah ada jika tidak melalui prosedural sehingga perusahaan wajib mempekerjakan kembali karyawan dan tetap membayar hak upah sesuai aturan ketenagakerjaan serta bekerja seperti semula. Adapun ketika perusahaan tetap bersikukuh untuk tetap memecat karyawannya, maka karyawan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Hukum Industrial (PHI) untuk menuntut hak-hak normatif atas PHK yang tidak sah,” tukasnya
Selaku putera daerah, Masri mengaku awalnya sangat mengapresiasi hadirnya PT SSU. Sebab, sebagian besar masyarakat Kabaena terbantu dengan adanya penyerapan tenaga kerja lokal sehingga mengurangi pengangguran. Namun, pihaknya heran dengan adanya kebijakan yang melewati batas hukum itu.
Sebelumnya, Direktur PT SSU Kasra Jaru Munara mengungkapkan bahwa dirinya tak pernah menginginkan adanya pemberhentian kerja kepada 544 karyawan, dan beberapa orang lainnya yang merupakan humas di perusahaan itu.
Pihaknya memutuskan PHK pada seluruh karyawan atas beberapa alasan. Pertama, ingin meningkatkan (upgrade ) sistem di internal perusahaan yang ia pimpin. Kedua, teknologi yang digunakan sudah tidak tepat guna.
Kasra menyampaikan bahwa dirinya sangat berat menyampaikan hal itu kepada seluruh karyawan yang ada. Ia mengibaratkan seluruh karyawan adalah keluarga besar. Namun, PHK itu merupakan langkah tepat sebelum semua bertambah rumit.
”Intinya, seluruh karyawan kita hentikan sementara, sekali lagi dihentikan sementara kemudian kita minta waktu untuk melakukan pembenahan, kita juga diminta oleh pemegang saham untuk hentikan. Sebab, tidak baik jika dalam perbaikan masih ada yang beroperasi, dan saya juga tidak bisa memastikan kapan perusahaan ini aktif kembali,” tandasnya. (B)