Ahli Pers dalam Sidang: Sadli Adalah Wartawan, Tulisannya Karya Jurnalistik

Ahli Pers dalam Sidang: Sadli Adalah Wartawan, Tulisannya Karya Jurnalistik
SIDANG SADLI – Ahli dari Dewan Pers, Winarto serta dari PWI Oktaf Riadi, memberi keterangan terkait kasus jurnalis Sadli Saleh dalam persidangan, Kamis (10/3/2020). Mereka disumpah berdasarkan keyakinan masing-masing sebelum memberi keterangan. (Risno/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, BAUBAU – Ahli pers dari Dewan Pers (DP), Winarto menyatakan Sadli Saleh adalah wartawan dan tulisannya merupakan karya jurnalistik. Hanya saja dalam tulisan Sadli berisi tuduhan dan tidak mengedepankan asas keberimbangan dalam penulisan berita.

Pernyataan itu diucapkan oleh Winarto ketika hadir di persidangan jurnalis Buton Tengah (Buteng), Sulawesi Tenggara (Sultra), Sadli Saleh, Kamis (10/3/2020). Winarto dipanggil pihak Sadli Saleh untuk memberi keterangan di hadapan Majelis Hakim Pengadialan Negeri (PN) Pasarwajo, Buton, terkait perkara yang membelit Sadli.

Tulisan Sadli Saleh itu terkait polemik simpang lima Labungkari, dituduh dan mencemarkan nama baik Bupati Buteng, Samahuddin. Kasus itu kemudian tidak diproses dengan Undang-Undang Pers sesuai profesi Sadli, tapi malah digunakan UU ITE.

Baca Juga : Majelis Hakim Ancam Jemput Paksa Bupati Buteng

Menurut Winarto, tulisan itu merupakan sebuah bentuk kritik terhadap pemerintah. Demikian banyak kelemahan dalam tulisan tersebut, sehingga bernada tidak mengenakan bagi orang yang merasa tertuduh. Kata dia, paling fatal tulisan itu tidak mengutamakan asas keberimbangan.

“Seorang wartawan jika ingin menulis berita, berita itu lahir dari sebuah proses yang panjang. Ketika pers akan menulis berita, terlebih dahulu akan melakukan rapat budgeting, memframing isu yang akan dibahas, hingga proses verifikasi data dan tahap wawancara. Biasanya yang hadir dalam rapat ini mereka yang ada dalam bagian redaksi. Di sana dibahas siapa yang akan menjadi narasumber, hingga bagaimana teknik wawacaranya nanti,” terang Winarto dalam persidangan.

Tulisan jurnalis, lanjut Winarto, sebisa mungkin tidak menafikan hak-hak semua orang yang terlibat di dalamnya. Prinsipnya, semua berita mesti cover both side, memberikan ruang kepada semua pihak.

“Misalkan ada narasumber A mengatakan si B korupsi, wartawan tidak boleh langsung menulis demikian, karena harus dilihat adalah motif politik dari si narasumber ini. A ini siapa? kok munuduh B korupsi?” urai Winarto.

Meski begitu, tambah Winarto, jika ada alasan lain dari seseorang tidak memuat keterangan suatu subjek tersorot dalam sebuah penulisan, maka masih ada jalur untuk memenuhi hak-hak orang yang merasa dirugikan tersebut yakni melayangkan hak jawab pada perusahan media bersangkutan. Media massa sendiri berkewajiban memuat hak jawab tersebut, disertai permintaan maaf jika ada kata yang kasar dalam tulisan awalnya.

“Kalau kami menemukan fakta seperti itu, dia (si wartawan/pers) tidak memberikan ruang pada subjek. Artinya dia harus memuat hak jawab dari orang yang merasa dirugikan. Disertai permintaan maaf dari perusahaan itu jika ada kata-kata yang tidak sopan kepada orang yang diberitakan,” terang Winarto.

Prosedur hak jawab sendiri jika ada masyarakat yang tidak terima dengan pemberitaan, maka mengadu ke DP di Jakarta dengan menunjukkan karya jurnalistik yang mereka tidak terima. “Teradu juga ditanya, ini pemberitaannya gimana, perusahaan persnya gimana, bagaimana cara kerja anda membuat berita ini, kenapa menyimpulkan seperti ini,” ujar Winarto.

Orang Disebut Wartawan Karena Karyanya

Winarto menyebut seseorang disebut sebagai wartawan karena dia punya karya jurnalistik. Bahkan, tegas Winarto, seorang warga yang hanya menulis di beranda media sosial pun patut dibela jika tulisannya memenuhi unsur jurnalistik dan memiliki niatan yang baik. Warga yang menulis di beranda media sosial untuk mengkritisi kondisi sosial ini disebut Citizen Journalism (jurnalisme warga).

“Konsen Dewan Pers pada konten. Kalau dalam dia membaritakan itu faktanya jelas, terverifikasi, Dewan Pers tetap akan melindungi. Dewan pers tidak akan memandang dari medianya. Sejauh niatnya baik dan untuk kepentingan publik,” urai Winarto.

Dewan Pers memang menyarankan media (perusahan pers) untuk mencatatkan diri di Dewan Pers, agar terverifikasi. Tujuannya, agar dapat mengukur profesionalitas kerja, lebih jauh mewujudkan kemerdekaan pers.

Baca Juga : Sadli, antara Profesi, Hak Masyarakat, dan Penguasa

Namun tidak ada konsekuensi hukum bagi mereka yang tidak terdaftar di Dewan Pers. Dewan Pers juga telah membuat aturan jika perusahan pers hanya boleh bergerak di bidang pers saja. Bagi mereka yang perusahaanya masih punya cabang bidang usaha lain, dimintai untuk segera memfokuskan usahanya di bidang pers saja. Hanya saja, ungkap Winarto, tidak ada batas waktu untuk itu.

“Tidak ada batas waktu kepada perusahan pers yang sudah terdata untuk melengkapi pendataan medianya, untuk mendaftarkan diri di Dewan Pers. Kami cuma pernah bersurat saja pada media-media yang sudah pernah terdata, untuk melengkapi berkasnya,” ungkap Winarto.

“Kalau media tersebut tidak berbadan hukum pers, dia tetap dinamakan media. Tapi bukan perusahan pers. Secara kelembagaan dia tidak masuk dalam naungan Dewan Pers,” tambah dia.

Terkait profesionalisme wartawan, Winarto menyebut, yang menentukan hal itu adalah hasil karya seseorang. Dia membagi wartawan dalam dua kategori, yang sudah uji kompetensi dan belum. Keduanya tetap merupakan wartawan.

“Yang kompeten itu sudah profesional karena sudah diuji. Tapi yang belum diuji itu belum tentu dia tidak profesional, karena uji kompetesi itu sendiri terbatas. Kesempatan wartawan untuk ikut juga terbatas,” paparnya.

Ditanya soal bagamaina menentukan media massa itu krediabel atau tidak? Winarto menjawab lihat boks redaksinya. Jika dalam boks redaksi media online itu mencantumkan alamat kantor, kemudian struktur redaksi yang baik, maka dipastikan media tersebut kredibel.

Sadli Sudah Berupaya Mencari Keterangan Bupati

Juli 2019 Sadli bertemu Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Buton Tengah setelah artikel polemik simpang lima Labungkari itu terbit. Saat kedua pria itu bertemu, membahas nasib istri Sadli jika tidak menghentikan berita. Sadli juga diancam akan terjerat hukum.

“Kemuadian dia (Sekretaris DPRD) menyarankan bertemu Ketua DPRD Buteng, Adam. Saat itu mereka menyarankan saya bertemu bupati, tapi saya bilang tidak mau kalau secara pribadi (di rumahnya), saya hanya sarankan kepada mereka agar bupati buat konferensi pers terkait hal ini, nanti saya liputan juga,” terang Sadli saat ditanya majelis hakim.

Menurut Sadli, dia enggan bertemu pribadi Bupati Buteng, Samahuddin secara pribadi karena menjunjung tinggi etika profesi wartawan. Dia telah menunggu kapan konferensi pers oleh bupati dilakukan. Pengakuannya di depan hakim, hingga saat ini (telah dibui), Bupati Samahuddin tidak menggelar jumpa pers itu.

Baca Juga : Kritik Penahanan Jurnalis di Buteng, Sandiaga Uno: Pemimpin Tidak Boleh Baper

Sadli juga ditanyai mengapa tidak mengkonfirmasi langsung ke Bupati Buteng, Samahuddin terkait polemik simpang lima Labungkari. Sadli menjawab, itu karena bupati jarang berkantor, sering lakukan perjalan dinas keluar daerah.

“Belum pernah diklarifikasi (ke Bupati, Samahuddin). Karena beliau ada di luar daerah terus. Susah ketemu bupati,” aku Sadli.

Terkait kasus Sadli ini, Ketua Advokasi dan Pembela Wartawan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Oktaf Riadi, meminta kepada Dewan Pers agar penyelesaian sengketa menggunkan Undang-Undang Pers ketimbang UU ITE. Pasalnya hal itu demi mendukung kemerdekaan pers.

Oktaf Riadi sendiri mengaku sudah puluhan kali melakukan pembelaan terhadap wartawan, bahkan pernah menghadap Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan pada wartawan yang dijerat UU ITE. Dia dihadirkan dalam sidang Sadli sebagai saksi ahli.

“Karena dia adalah seorang wartawan, maka biar kami yang melakukan sanksi etik jika memang terbukti bersalah. Ini perlu diketahui, jika seorang wartawan dipanggil menghadap Dewan Pers, mereka akan ketakutan. Dewan Pers sendiri bisa memberhentikan seorang wartawan dari profesinya,” urainya dalam kesaksiannya di hari yang sama dengan Winarto.

Dia juga menjabarkan, sejatinya media massa bisa melakukan kritik pada pemerintah manapun. Kritik itu mesti membangun dan bahkan punya solusi.

“Konsep kritik ada bentuk opini, pandangan kami, saran redaksi. Batasan mengkritik itu sendiri, kritik itu dilakukan karena ada kekeliruan dalam membangun, bahkan harus memberi saran. Tidak boleh mencaci maki. Maksudnya tidak boleh menuduh tanpa patut diduga jika belum terbukti orang tersebut belum divonis secara hukum,” terangnya.

Ada hal yang menarik selain fokus perkara Sadli dalam persidangan. Majelis Hakim meminta kepada Dewan Pers, Winarto dan PWI Oktaf, agar lebih mempertegas bunyi nota kesepakatan (MoU) bersama Polri dan Dewan Pers. Menurut Ketua Majelis Hakim, Subai, harus ada ketegasan dalam MoU itu, bahwa sengketa pers harus menjadi pengadilan khusus agar tidak bertabrakan dengan undang-undang lain.

“Pertegas lagi MoU-nya. Jangan hanya gaya-gaya, inti sari MoU-nya itu harus dipertegas. Harus ada titik tekannya, mengenyampingkan perkara. Seperti undang-undang peradilan anak itu. Supaya jangan lagi bertabrakan dengan undang-undang ITE. Kan pers inikan kerjanya independen,” imbuh Subai. (B/SF)

 


Kontributor : Risno Mawandili
Editor : Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini